Alumni ponpes روضة الهدا purabaya kab:Smi, dan المعهد الاسلاميه kota sukabumi

Senin, 14 Juli 2025

7 TUJUH GOLONGAN YG AMALNYA BAGAIKAN DEBU

7 Tujuh Golongan yang Amalnya Bagaikan 
Debu yang Beterbangan

Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu disebutkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ

“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga, dan menyelematkannya dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah” (HR. Muslim no. 2817).

Sementara dalam beberapa ayat diterangkan bahwa amalan adalah sebab seorang masuk surga. Seperti ayat berikut,

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Itulah surga yang dikaruniakan untuk kalian, disebabkan amal sholeh kalian dahulu di dunia” (QS. Az-Zukhruf : 72).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : Bagaimana menggabungkan antara ayat dan hadis ini (yakni hadis Jabir di atas, pent)? Jawabannya, kedua dalil di atas bisa dikompromikan, di mana peniadaan masuknya manusia ke dalam surga karena amalnya dalam arti balasan, sedangkan isyarat bahwa amal sebagai kunci masuk surga dalam arti bahwa amal itu adalah sebab, bukan pengganti” (Syarah Riyadhus Sholihin, 1/575).

Ini isyarat bahwa tidak benar bila kemudian seorang berpangku tangan merasa cukup bergantung dengan rahmat Allah, lalu meninggalkan  amal sholih karena menganggapnya tidak penting. Karena Allah menetapkan segala sesuatu dengan sebab dan akibat. Dalam hal ini, Allah ‘azzawajalla menjadikan sebab mendapatkan rahmatNya; yang menjadi sebab meraih surga, dengan amal shalih.

Dalam Al-Quran terdapat satu ayat yang selalu membuat takut dan gemetar para salaf dalam membacanya, karena ayat tersebut menunjukkan bahwa di hari kiamat kelak ada sebagian hamba ketika berjumpa dengan Allah ia mendapatkan azab yang tidak pernah ia sangka sebelumnya.  Ayat tersebut adalah:

وَبَدَا لَهُم مِّنَ ٱللَّهِ مَا لَمۡ يَكُونُواْ يَحۡتَسِبُونَ ٤٧

Artinya: “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar; 47)

Nah, di antara orang-orang yang akan mendapatkan azab Allah yang tak disangka-sangka tersebut adalah tujuh golongan yang disebutkan Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam bukunya “Al-Mahajjah fi Sair Ad-Duljah”. Tujuh golongan ini semuanya merasa bahwa mereka memiliki amalan saleh yang akan menyelamatkan mereka di hadapan Allah Ta’ala, namun ternyata amalan baik mereka tersebut terhamburkan laksana debu yang beterbangan, tanpa memiliki nilai apa pun di sisi Allah, lalu mereka pun ditimpakan azab yang tidak disangka-sangka. Tujuh golongan tersebut adalah:

Pertama; Seseorang yang memiliki banyak amalan saleh seraya mengharapkan secara takjub dan bangga bahwa dirinya akan mendapatkan ganjaran kebaikan atasnya, namun di akhirat kelak amalan-amalannya tersebut berubah menjadi debu yang beterbangan, bahkan amalan ini berubah menjadi dosa baginya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَقَدِمۡنَآ إِلَىٰ مَا عَمِلُواْ مِنۡ عَمَلٖ فَجَعَلۡنَٰهُ هَبَآءٗ مَّنثُورًا ٢٣

Artinya; “Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS Al-Furqan ; 23)

Al-Fudhail rahimahullah berkata; “Mereka sewaktu di dunia beramal dengan banyak amalan sambil mengharapkan (secara takjub dan bangga) ganjaran kebaikan atasnya, namun ketika di akhirat amalan-amalan tersebut berubah menjadi dosa-dosa”.

Kedua; Seseorang yang melakukan dosa sambil meremehkannya, sehingga dosa ini menjadi sebab ia mendapatkan azab, sebagaimana dalam firman Allah ;

وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ ١٥

Artinya; “Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar”. (QS An-Nur ; 15)

Sebagian para sahabat berkata kepada para tabiin; “Sesungguhnya kalian kadang melakukan suatu amalan yang nilainya lebih kecil di mata kalian daripada sehelai rambut, namun dahulu di zaman Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam kami menganggapnya  sebagai suatu dosa besar yang membinasakan”.

Ketiga; Orang yang amalan buruknya dihiasi oleh setan sebagai amalan baik, sehingga ia pun melihatnya sebagai suatu kebaikan. Allah berfirman;

قُلۡ هَلۡ نُنَبِّئُكُم بِٱلۡأَخۡسَرِينَ أَعۡمَٰلًا ١٠٣ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعۡيُهُمۡ فِي ٱلۡحَيَوٰةِٱلدُّنۡيَا وَهُمۡ يَحۡسَبُونَ أَنَّهُمۡ يُحۡسِنُونَ صُنۡعًا ١٠٤

Artinya; “Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”. (QS Al-Kahfi ; 103-104)

Keempat; (Orang-orang yang riya’ dengan amalan salehnya) .Tentang ayat ini “Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan”. (QS Az-Zumar ; 47), dahulu Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata; “Celakalah orang-orang yang riya’ dengan (ancaman) ayat ini”.

Ucapan beliau ini juga terdapat dalam hadis yang mengisahkan tentang tiga golongan yang pertama kali dijerumuskan dalam api neraka, yaitu; orang yang menuntut ilmu agar diberi gelar ulama, orang yang gemar bersedekah agar disebut dermawan, dan orang yang berjihad agar disebut mujahid.

Kelima: Orang yang beramal saleh namun ia banyak menzalimi orang lain. Ia menyangka bahwa amalannya akan menyelamatkannya di akhirat kelak, namun ternyata ia mendapatkan dari Allah suatu azab yang tidak pernah ia sangka. Semua amalannya dibagi-bagi kepada orang-orang yang ia zalimi, dan jika pahala amalannya telah habis terbagi, namun orang yang ia zalimi masih ada yang menuntut hak darinya, maka dosa-dosa mereka dipindahkan kepadanya, lalu ia dijerumuskan ke dalam neraka.

Keenam; Seseorang beramal saleh -namun kurang bersyukur-, lalu di akhirat kelak akan ditanyai oleh Allah ketika amalannya dihisab, lalu ia dituntut untuk menebus nikmat yang ia dapatkan di dunia dengan amalannya, dan ternyata nikmat terkecil saja tidak bisa ditebus kecuali dengan seluruh amalannya, sehingga nikmat-nikmat yang belum ia tebus dimintai tebusannya namun karena amalannya telah habis, maka ia pun diazab. Sebab itu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda; “Siapa yang dihisab secara detail, maka ia pasti diazab”.

Ketujuh; Kadangkala seseorang memiliki dosa tertentu yang menghapus semua amalannya kecuali amalan tauhid, sehingga ia pun dimasukkan kedalam neraka terlebih dahulu. Dalam Sunan Ibnu Majah dari riwayat Tsauban secara marfu’ ;

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

Artinya ; “Saya sungguh mengetahui suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah yang putih, namun Allah ‘Azza wa Jalla menjadikannya laksana debu yang beterbangan”. Tsauban bertanya; “Wahai Rasulullah, sebutkan kami ciri-ciri mereka agar kami tidak termasuk dalam golongan mereka sedangkan kami mengetahui akibatnya”. Beliau bersabda; “Mereka adalah saudara-saudara kalian, dan dari bangsa kalian. Mereka mengerjakan ibadah malam sebagaimana kalian beribadah malam, akan tetapi mereka adalah suatu kaum yang apabila dalam keadaan menyendiri, mereka melakukan hal-hal yang diharamkan Allah ta’ala”.[3]

Ya’qub bin Syaibah dan Ibnu Abi Ad-Dunya meriwayatkan dari hadis Salim Maula Abi Hudzaifah radhiyallahu’anhuma secara marfu ‘; “Sungguh  ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat kelak dengan membawa pahala kebaikan seperti gunung-gunung Tihamah, namun ketika mereka didatangkan dihadapan Allah ‘Azza wa Jalla, Dia menjadikan pahala amalan tersebut laksana debu yang beterbangan lalu Dia menjerumuskan mereka kedalam neraka”.

Salim berkata; “Saya khawatir akan termasuk dari golongan mereka”. Rasulullah melanjutkan; “Sesungguhnya mereka dahulu berpuasa sebagaimana kalian puasa, mengerjakan shalat dan ibadah malam sebagaimana kalian mengerjakannya, namun mungkin saja mereka dahulu tatkala di dunia jika mendapati perkara haram mereka mengerjakannya, sehingga Allah pun menghapus amalan mereka”.

ketika tidak memanfaatkannya.

PERINGATAN NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan pentingnya memanfaatkan waktu, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang”. [HR Bukhari, no. 5933].

Hadits yang mulia ini memberitakan bahwa waktu luang adalah nikmat yang besar dari Allâh Ta’ala, tetapi banyak manusia tertipu dan mendapatkan kerugian terhadap nikmat ini. Di antara bentuk kerugian ini adalah:

Seseorang tidak mengisi waktu luangnya dengan bentuk yang paling sempurna. Seperti menyibukkan waktu luangnya dengan amalan yang kurang utama, padahal ia bisa mengisinya dengan amalan yang lebih utama.
Dia tidak mengisi waktu luangnya dengan amalan-amalan yang utama, yang memiliki manfaat bagi agama atau dunianya. Namun kesibukkannya adalah dengan perkara-perkara mubah yang tidak berpahala.
Dia mengisinya dengan perkara yang haram, ini adalah orang yang paling tertipu dan rugi. Karena ia menyia-nyiakan kesempatan memanfaatkan waktu dengan perkara yang bermanfaat. Tidak hanya itu, bahkan ia menyibukkan waktunya dengan perkara yang akan menggiringnya kepada hukuman Allâh di dunia dan di akhirat.
Urgensi waktu dan kewajiban menjaganya merupakan perkara yang disepakati oleh orang-orang yang berakal. Berikut adalah diantara point-point yang menunjukkan urgensi waktu.

Waktu Adalah Modal Manusia. Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

Wahai Ibnu Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.[1]

Diriwayatkan bahwa ‘Umar bin Abdul-‘Aziz rahimahullah berkata:

إِنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلَانِ فِيْكَ فَاعْمَلْ فِيْهِمَا

Sesungguhnya malam dan siang bekerja terhadapmu, maka beramalah pada malam dan siang itu.[2]

2. Waktu Sangat Cepat Berlalu. Seseorang berkata kepada ‘Âmir bin Abdul-Qais rahimahullah, salah seorang tabi’i: “Berbicaralah kepadaku!” Dia menjawab: “Tahanlah jalannya matahari!” Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak menyerupakan masa muda kecuali dengan sesuatu yang menempel di lengan bajuku, lalu jatuh”.
Abul-Walid al-Bâji rahimahullah berkata: “Jika aku telah mengetahui dengan sangat yakin, bahwa seluruh hidupku di dunia ini seperti satu jam di akhirat, maka mengapa aku tidak bakhil dengan waktu hidupku (untuk melakukan perkara yang sia-sia, Pen.), dan hanya kujadikan hidupku di dalam kebaikan dan ketaatan”.

Waktu Yang Berlalu Tidak Pernah Kembali. Abu Bakar ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berkata:
إِنَّ لِلَّهِ حَقًّا بِالنَّهَارِ لَا يَقْبَلُهُ بِاللَّيْلِ، وَلِلَّهِ حَقٌّ بِاللَّيْلِ لَا يَقْبَلُهُ بِالنَّهَارِ

Sesungguhnya Allâh memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan Allâh juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan menerimanya di waktu siang. [Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].

Dengan demikian seharusnya seseorang bersegera melaksanakan tugasnya pada waktunya, dan tidak menumpuk tugas dan mengundurkannya sehingga akan memberatkan dirinya sendiri. Oleh karena itu waktu di sisi Salaf lebih mahal dari pada uang.

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:

أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دَرَاهِمِهِ وَدَنَانِيْرِهِ

Aku telah menemui orang-orang yang sangat bakhil terhadap umurnya daripada terhadap dirham dan dinarnya.[3]

Sebagian penyair berkata:

وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ … وَأَرَاهُ أَسْهَلَ مَا عَلَيْكَ يُضَيَّعُ

Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga, tetapi aku melihatnya paling mudah engkau menyia-nyiakannya.

4. Manusia tidak mengetahui kapan berakhirnya waktu yang diberikan untuknya. Oleh karena itu Allâh Ta’ala banyak memerintahkan untuk bersegera dan berlomba dalam ketaatan. Demikian juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar bersegera melaksanakan amal-amal shalih. Para ulama telah memperingatkan agar seseorang tidak menunda-nunda amalan.
Al-Hasan berkata:

اِبْنَ آدَمَ إِيَّاكَ وَالتَّسْوِيْفَ فَإِنَّكَ بِيَوْمِكَ وَلَسْتَ بِغَدٍّ فَإِنْ يَكُنْ غَدٌّ لَكَ فَكُنْ فِي غَدٍّ كَمَا كُنْتَ فِيْ الْيَوْمَ وَإِلَّا يَكُنْ لَكَ لَمْ تَنْدَمْ عَلَى مَا فَرَّطْتَ فِيْ الْيَوْمِ

Wahai anak Adam, janganlah engkau menunda-nunda (amalan-amalan), karena engkau memiliki kesempatan pada hari ini, adapun besok pagi belum tentu engkau memilikinya. Jika engkau bertemu besok hari, maka lakukanlah pada esok hari itu sebagaimana engkau lakukan pada hari ini. Jika engkau tidak bertemu esok hari, engkau tidak akan menyesali sikapmu yang menyia-nyiakan hari ini.[4]

KENYATAAN MANUSIA DALAM MENYIKAPI WAKTU

Berikut adalah beberapa keadaan manusia dalam menyikapi waktu.

1. Orang-orang yang amalan shalih mereka lebih banyak daripada waktu mereka. Diriwayatkan bahwa Syaikh Jamaluddin al-Qâshimi rahimahullah melewati warung kopi. Dia melihat orang-orang yang mengunjungi warung kopi tenggelam dalam permainan kartu dan dadu, meminum berbagai minuman, mereka menghabiskan waktu yang lama. Maka Syaikh berkata, “Seandainya waktu bisa dibeli, sungguh pasti aku beli waktu mereka!”
Orang-orang yang menghabiskan waktu mereka dalam mengejar perkara yang tidak berfaidah, baik berupa ilmu yang tidak bermanfaat, atau urusan-urusan dunia lainnya. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah menyebutkan seorang laki-laki yang menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan menumpuk harta. Ketika kematian mendatanginya, dikatakan kepadanya, “Katakanlah lâ ilâha illa Allâh,” namun ia tidak mengucapkannya, bahkan ia mulai mengucapkan, “Satu kain harganya 5 dirham, satu kain harganya 10 dirham, ini kain bagus”. Dia selalu dalam keadaan demikian sampai ruhnya keluar.
Orang-orang yang tidak mengetahui apa yang harus mereka lakukan terhadap waktu. Seorang ulama zaman dahulu berkata: Aku telah melihat kebanyakan orang menghabiskan waktu dengan cara yang aneh. Jika malam panjang, mereka habiskan untuk pembicaraan yang tidak bermanfaat, atau membaca buku percintaan dan begadang. Jika waktu siang panjang, mereka habiskan untuk tidur. Sedangkan pada waktu pagi dan sore, mereka di pinggir sungai Dajlah, atau di pasar-pasar. Aku ibaratkan mereka itu dengan orang-orang yang berbincang-bincang di atas kapal, kapal itu terus berjalan membawa mereka dan berita mereka. Aku telah melihat banyak orang yang tidak memahami arti kehidupan. Di antara mereka, ada orang yang telah diberi kecukupan oleh Allâh Azza wa Jalla , ia tidak butuh bekerja karena hartanya yang sudah banyak, namun kebanyakan waktunya pada siang hari ia habiskan dengan nongkrong di pasar (kalau zaman sekarang di mall dan sebagainya, Pen.) melihat orang-orang (yang lewat). Alangkah banyaknya keburukan dan kemungkaran yang melewatinya. Di antara mereka ada yang menyendiri bermain dengan permainan yang melalaikan. Di antara mereka ada yang menghabiskan waktu dengan kisah-kisah kejadian tentang raja-raja, tentang harga yang melonjak dan turun, dan lainnya. Maka aku mengetahui bahwa Allâh tidak memperlihatkan urgensi umur dan kadar waktu kesehatan kecuali kepada orang-orang yang Allâh berikan taufiq dan bimbingan untuk memanfaatkannya. Allâh berfirman:
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. [Fushilat/41:35].

Adapun yang menjadi penyebab perbedaan keadaan manusia dalam menyikapi waktu, kembali kepada tiga perkara berikut.

1. Sebab pertama, tidak menetapkan tujuan hidup. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengetahui bahwa tujuan Allâh menciptakannya adalah untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. [adz-Dzariyat/51:56].

Dia harus mengetahui bahwa dunia ini adalah tempat beramal, bukan tempat santai dan main-main, sebagaimana firman-Nya:

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? [al-Mukminun/23:115].

Dunia adalah sawah ladang akhirat. Jika engkau menanam kebaikan di dunia ini, maka engkau akan memetik kenikmatan abadi di akhirat nanti. Jika engkau menanam keburukan di dunia ini, maka engkau akan memetik siksaan pedih di akhirat nanti. Namun demikian, ini bukan berarti manusia tidak boleh bersenang-senang dengan perkara yang Allâh ijinkan di dunia ini, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

Demi Allâh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa di antara kamu kepada Allâh, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat (malam) dan tidur, dan aku menikahi wanita-wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, maka ia bukan dariku. [HR al-Bukhari, no. 4776; Muslim, no. 1401]

Sebab kedua, bodoh terhadap nilai dan urgensi waktu.
Sebab ketiga, lemahnya kehendak dan tekad. Banyak orang mengetahui nilai dan urgensi waktu, dan mengetahui perkara-perkara bermanfaat yang seharusnya dilakukan untuk mengisi waktu, tetapi karena lemahnya kehendak dan tekad, mereka tidak melakukannya. Maka seorang muslim wajib mengobati perkara ini dan bersegera serta berlomba melaksanakan amalan-amalan shalih, serta memohon pertolongan kepada Allâh Ta’ala, kemudian bergabung dengan kawan-kawan yang shalih. Jika kita benar-benar mengerti tujuan hidup, dan kita benar-benar memahami nilai waktu, maka seharusnya kita isi waktu kita dengan perkara yang akan menjadikan ridha Penguasa kita, Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus. Âmîn.
engkau tidak aman dari tipu dayanya. Sedangkan berteman denagn ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan kejelekan bid’ahnya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)

Mudharat Berteman dengan Orang yang Jelek
Sebaliknya, bergaul dengan teman yang buruk juga ada dua kemungkinan yang kedua-duanya buruk. Kita akan menjadi jelek atau kita akan ikut memperoleh kejelekan yang dilakukan teman kita. Syaikh As Sa’di rahimahulah juga menjelaskan bahwa berteman dengan teman yang buruk memberikan dampak yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan dari segala aspek bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik mereka sadari maupun tidak. Oleh karena itu, sungguh merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman yaitu Allah memberinya taufik berupa teman yang baik. Sebaliknya, hukuman bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjatu Qulubil Abrar, 185)

Perusak Persauadaraan/pertemanan :

Pertama: Tamak Terhadap Apa Yang Ada Di Tangan Yang Lain Dan Cenderung Pada Keduniaan

ini termasuk akhlaq yang paling tercela, yaitu tamak dengan milik orang lain dan hasad.

Kedua: Ghibah

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?” Mereka berkata, “Allâh dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian menyebut saudaramu dengan apa yang dia tidak sukai”. Dikatakan, “Apa pendapat Anda jika apa yang aku sebutkan ada pada saudaraku?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika apa yang engkau katakan ada padanya, sungguh engkau telah men-ghibah-nya, jika yang kau katakan tidak benar sungguh engkau berdusta dan mengada-ada”.

Ketiga: Tajassus (Memata-Matai Yang Lain)

وَلَا تَجَسَّسُوا

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang [Al-Hujurat/49:12]

Keempat: Lamz Dan Ghamz (Mencela Dan Meremehkan) Orang Lain

Al-Humajah.: kecelakaan yang besarlah bagi pengumpat lagi pencela

Kelima: Sikhriyyah (Merendahkan yang Lain)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. [Al-Hujurat/49:11] Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Hal ini juga salah satu hak seorang Mukmin atas Mukmin yang lain agar tidak saling mencela satu sama lain dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan penghinaan karena hal tersebut diharamkan. Hal ini juga menunjukkan ketakjuban pencela pada dirinya sendiri.

Abu Hamid Al-Ghazali berkata,

ِوَأَصْلُ تَأْدِيْبِ الصِّبْيَانِ الْحِفْظُ مِنْ قرنَاءِ السُّوْء

“Inti pendidikan anak adalah menjauhkan anak dari teman teman yang buruk.” [Ihya’ Ulumuddin 1/95]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﻋَﻠَﻰ ﺩِﻳﻦِ ﺧَﻠِﻴﻠِﻪِ ﻓَﻠْﻴَﻨْﻈُﺮْ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻣَﻦْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻞُ

“Seseorang akan sesuai dengan kebiasaan/sifat sahabatnya. Oleh karena jtu, perhatikanlah siapa yang akan menjadi sahabat kalian ”. [HR. Abu Dawud]

Permisalan teman yang baik dan buruk sebagaimana permisalan penjual minyak wangi dan pandai besi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ ، وَكِيرِ الْحَدَّادِ ، لاَ يَعْدَمُكَ مِنْ صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيهِ ، أَوْ تَجِدُ رِيحَهُ ، وَكِيرُ الْحَدَّادِ يُحْرِقُ بَدَنَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيحًا خَبِيثَةً

“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari no. 2101)

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلا (٢٧) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلانًا خَلِيلا (٢٨) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلإنْسَانِ خَذُولا (٢٩)

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. [Al-Furqan/25: 27-29]

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa. Az Zukhruf : 67di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim)

Jama’ah…Sungguh Allah tidak pernah memerintahkan kepada kita untuk beribadah di satu bulan dan berhenti di bulan lainnya. Sampai ulama mengingatkan : ‘seburuk-buruknya kaum adalah mereka yang mengenal Allah hanya di bulan ramadhan, lalu mereka melupakan Allah di bulan-bulan lainnya. Lalu sampai kapan kita beramal ?

وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ

“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal) (Q.S. Al Hijr : 99).

Jama’ah Shalat Ied Rahimakumullah…

Sungguh Allah telah memberikan berbagai peringatan kepada kita dengan berbagai musibah bencana maupun wabah. Allah pernah mengingatkan kita dengan gempa bumi, telah menegur kita dengan banjir bandang, dan hari ini Allah memperingatkan kita dengan wabah covid 19, kalau dengan peringatan wabah yang begitu mengguncang seluruh sisi kehidupan kita ini masih juga tidak membuat kita kembali ke Jalan Allah, bertaubat dan mendekatkan diri kepada-Nya, lalu peringatan seperti apalagi yang bisa merubah kita?

Maka jama’ah, jika kita tidak mampu bersaing dengan orang-orang shalih dalam ibadah dan amal-amal mereka, berlomba-lombalah dengan para pendosa di dalam istigfar dan taubat mereka kepada Allah. Akhirnya marilah kita berdo’a kepada Allah agar trus memberikan rahmat dan ridho-Nya kepada kita semua.

اَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ. فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

 

Sabtu, 28 Juni 2025

HUKUM MELIHAT VIDIO PORNO

Demi Tingkatkan Gairah, Suami-Istri Nonton Film P*rno! Bagaimana Hukumnya?

Berhubugan badan termasuk bagian dari memberi nafkah berupa kepuasan jasmani. Bahkan berhubungan badan dengan istri dikategorikan sebagai jihad fi sabilillah dalam konteks tertentu. Hal ini sebagaimana sabda baginda Rosululloh Saw yang dikemukakan oleh Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali at-Thusi:

رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ –أبو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، بيروت-دار المعرفة، ج، 2، ص ٥٢

“Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa sesungguhnya seorang suami yang menggauli istrinya maka akan dicatat baginya pahala menggaulinya sebagaimana pahala anak laki-laki yang memerangi (musuh) di jalan Alloh kemudian terbunuh.” (lihat Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 2, h. 52)

Dalam riwayat lain, baginda Nabi Muhammad Saw bersabda:

وفي بُضع أحدكم صدقة ، قالوا : يا رسول الله أيأتي أحدُنا شهوتَه ويكون له فيها أجر ؟ قال : أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر

“Hubungan badan antara kalian (dengan istri atau hamba sahaya kalian) adalah sedekah. Para sahabat lantas bertanya kepada baginda Nabi, ‘Wahai Rosululloh, apakah jika kami mendatangi istri kami dengan syahwat itu mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bukanlah jika kalian bersetubuh pada sesuatu yang haram, kalian mendapatkan dosa? Oleh karena itu, jika kalian bersetubuh pada sesuatu yang halal, tentu kalian akan mendapatkan pahala.” (H.R Imam Muslim).

Dari hal ini jelas bahwa berhubungan badan bagi suami istri memiliki pahala yang sangat besar. Namun terkadang yang menjadi persoalan, seiring berjalannya waktu dan usia pernikahan yang sudah lama, kadang gairah seksual pasutri menjadi melemah atau berkurang. Untuk mengatasi hal demikian, demi meningkatkan kembali gairah hubungan intim bersama pasangan, beberapa pasutri menonton film porno agar tercipta stimulus berupa libido seksual yang kembali meningkat. Lantas, bagaimana Islam memandang hukum menonton film porno bagi pasangan suami istri? Dalam hal ini, ada dua qoul Ulama yang membolehkan dan mengharamkan melihat film porno. Simak penjelasan berikut ini sampai tuntas agar tidak salah paham dalam memahami hukumnya.

Pendapat Pertama

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj juz-7 halaman 192 dijelaskan sebagai berikut:

ومحل ذلك أى عدم حرمة نظر المثال كما هو ظاهر حيث لم يخش فتنة ولا شهوة -إلى أن قال– وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا

Artinya: “tidak haram melihat yang semisal (film porno) sebagaimana kejelasannya sekira tidak takut terjadi fitnah dan syahwat –hingga pengarang berkata– demikian juga ketika melihat dengan syahwat dalam arti berlezat-lezat dengannya, dan jika aman dari fitnah secara pasti”.

Dalam kitab Is’adur Rafiq juz-2 halaman 68 dijelaskan sebagai berikut:

خرج مثالها أى العورة فلا يحرم نظره فى نحو مرآة كما أفتى به غير واحد ويؤيد قولهم لو علق الطلاق برؤيتها لم يحنث برؤية خيالها فى نحو مرآة لأنه لم يرها ومحل ذلك أى عدم حرمة نظر المثال كما هو ظاهر حيث لم يخش فتنة ولا شهوة -إلى أن قال- وكذا عند النظر بشهوة بأن يلتذ به وإن أمن الفتنة قطعا

“Dikecualikan melihat yang semisal aurat maka tidak haram melihatnya dalam cermin (kaca) sebagaimana difatwakan oleh para Ulama. Dikuatkan pendapat mereka itu jikalau digantungkan talak dengan melihat aurat, tidak melanggar (ta’liq talak) dengan melihat hayalannya dalam kaca saja karena ia pada hakikatnya tidak melihatnya. Posisi demikian adalah tidak haram melihat yang semisal sebagaimana yang jelasnya sekira tidak terjadi firnah dan syahwat –hingga pengarang berkata– demikian juga ketika melihat dengan syahwat, artinya dengan berlezat-lezat tetapi jika aman dari fitnah secara pasti”.

Menurut Ulama yang memperbolehkan melihat film porno bagi pasangan suami-istri pada dasarnya mereka menyerupakan dengan melihat sosok yang terpantul dari dalam air atau cermin/kaca. Dimana hal ini tidak diharamkan meskipun menimbulkan syahwat.

Pendapat Kedua

Dalam kitab Hasyiyah Qalyubi wa Umairah juz-3, hal.209 dijelaskan sebagai berikut:

والحاصل أنه يحرم رؤية شيء من بدنها – إلى أن قال- وشمل النظر ما لو كان من وراء زجاج أو مهلهل النسج أو في ماء صاف وخرج به رؤية الصورة في الماء أو في المرآة فلا يحرم ولو مع شهوة ويحرم سماع صوتها ولو نحو القرآن إن خاف منه فتنة أو التذ به وإلا فلا والأمرد فيما ذكر كالمرأة

“Kesimpulannya adalah haram melihat suatu bagian dari badan perempuan-hingga pengarang berkata- termasuk juga melihat suatu badan perempuan yang dibelakang kaca atau tenunan kain, atau dalam air yang jernih. Dikecualikan dari itu melihat gambar dalam air atau dalam kaca (cermin) maka tidak haram walau dengan syahwat. Dan haram mendengar suaranya walau seumpama Al-Qur’an jika takut terjadi fitnah atau berlezat-lezat dengannya, jika tidak maka tidak haram. Amrad (anak laki-laki cantik) pada masalah ini sama dengan perempuan”.

Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa melihat sesuatu (al-mandzur ilaih) seperti mahrom atau selainnya (ajnaby), selain istrinya, jika menimbulkan syahwat adalah haram. Bahkan keharaman ini menurut Ali asy-Syibromalisi mencakup juga keharaman melihat benda-benda mati (al-jamadat).

أَمَّا النَّظَرُ بِشَهْوَةٍ فَحَرَامٌ قَطْعًا لِكُلِّ مَنْظُورٍ إلَيْهِ مِنْ مَحْرَمٍ وَغَيْرِهِ غَيْرِ زَوْجَتِهِ وَأَمَتِهِ شَرْحُ م ر قَالَ ع ش عُمُومُهُ يَشْمَلُ الْجَمَادَاتِ فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إلَيْهَا بِشَهْوَةٍ –أنظر سليمان البجيرمي، التجريد لنفع العبيد، المكتبة الإسلامية-تركيا، ج، 3، ص. 326

“Adapun melihat sesuatu (al-mandzur ilaih) seperti mahrom dan selainnya, selain istri dan budaknya, secara pasti adalah haram (Syarh Muhammad ar-Romli). (Dalam hal ini) Ali asy-Syibramalisi menyatakan bahwa keumuman keharaman ini meliputi benda-benda mati. Karenanya, haram melihat benda-benda mati dengan disertai syahwat.” (Lihat, Sulaiman al-Bujairimi, at-Tajrid li Naf’ al-‘Abid, al-Maktabah al-Islamiyyah-Turkey, tt, juz, 3, h. 326).

Berdasarkan teks-teks kitab diatas, maka dapat disimpulkan bahwa melihat film porno adalah bukan melihat aurat perempuan. Dengan demikian hukum melihat film porno dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Bagi pasutri, jika melihat film porno tidak menimbulkan fitnah yang lain (yang diharamkan) maka dibolehkan walau ada syahwat saat melihatnya.

Namun jika melihat film porno bisa menimbulkan fitnah yang lain maka haram melihatnya. Semisal, haramnya membayangkan pria atau wanita lain saat berhubungan intim, Hukum ini berlaku baik bagi yang sudah berkeluarga atau yang belum.

Namun jika melihat kepada bahaya-bahaya (dloror) yang ditemukan pada yang sering melihat film porno maka hukum menonton film porno bisa haram mutlak. Sebagian Ulama kontemporer telah mengharamkan nonton film porno secara mutlak karena banyak bahaya yang ditimbulkan.

Peringatan pemerintah: Hindari nonton film porno baik yang sudah berkeluarga apalagi yang masih single, ini termasuk dalam maksiat mata yang mengakibatkan gelap / tertutupnya hati dari menerima ilmu-ilmu ulama atau mengakibatkan putusnya ratusan sel-sel di otak yang berdampak pikun dan sulit untuk berfikir.

Dalam pandangan Islam, masih banyak cara-cara lain untuk menambah gairah seksual pasutri. Diantaranya melakukan cumbu-rayu dan ciuman sebelum melakukan hubungan badan (foreplay), dan lain-lain. Oleh karenanya, kami lebih cenderung kepada pendapat yang kedua.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam

Minggu, 15 Juni 2025

BERSUCI KETIKA LUKA DIBALUT PERBAN

BERSUCI KETIKA LUKA DIBALUT PERBAN

 Bapak pengasuh, bagaimanakah tatacara berwudhu yang benar bila kita memiliki luka yang dibalut ? Apakah dengan cara diusap bagian balutannya atau dilewatkan saja (tidak usah dibasuh). Mohon pencerahannya.

✔️Jawaban :

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Islam adalah agama Universal. Dalam perkara-perkara pelik lagi rumit sekalipun, syariah tetap memberikan solusi. Tidak ada satupun masalah yang bila kita tempuh penyelesaiannya lewat jalan Islam akan berujung pada jalan buntu atau kesesatan.

Demikian pula, syariat Islam itu bersifat penuh dengan kemudahan dan fleksibelitas. Jalan keluar yang ditawarkan senantiasa mengedepankan hakikat-hakikatnya yang sangat manusiawi.

 Termasuk dalam masalah bersuci yang sekarang ini kita bahas, kita akan temui betapa syariat ini benar-benar hendak memanusiakan manusia dan menebar rahmat bagi alam semesta.

A. Pensyariatan mengusap perban

Yang dimaksud balutan (jaba’ir) menurut istilah Fiqih adalah sesuatu yang diikat pada tempat luka, kudis, dan tempat membuang darah.[1]

Adapun ketika seseorang bersuci –sedangkan dia dalam kondisi diperban sebagian anggota badannya- maka boleh hanya dengan mengusap perbannya. Tidak usah dibuka, demikian menurut kesepakatan ulama. Adapun dalilnya adalah :

1. Dari Ali bin Abi Thalib. Dia berkata : “Lenganku telah patah, kemudian aku bertanya kepada Rasululah shalallahu’alahi wassalam tentang hukumnya, beliau menyuruhku untuk mengusapnya.” (HR. Ibnu Majah)[2]

2. Dari Jabi, Ia menyebutkan tentang seorang shahabat yang luka dikepala, lalu ia mandi hingga meninggal dunia. Setelah itu Nabi shalallahu’alahi wassalam bersabda : “Sesungguhnya dapat mencukupi kalau ia hanya mengambil tayamum dan membalut lukanya dengan perca kain, dan setelah itu ia mengusap diatasnya dan mandi kebagian tubuhnya (yang lain).”(HR. Abu Daud)[3]

Membuka perban ketika akan bersuci tentu akan memberatkan, hal ini tentu tidak diinginkan oleh syariat yang mulai ini. Sebagaimana firmanNya :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan kemudahan bagimu, dan tidaklah Allah menginginkan kesukaran bagimu..” (QS. al Baqarah : 185).

Lagi pula secara akal, jika mengusap khuf (sepatu) saja dibolehkan ketika seseorang bersuci, lalu bagaimana dengan perban yang mengandung kesukaran dan kemudharatan di dalamnya?[4]

Jadi, teranglah bahwa seseorang yang memiliki luka yang diperban, tidak perlu membuka perbannya bila ia bersuci. Adapun tentang hukum dan tuntunan tatacaranya, mari kita simak penjelasan ulama berikut ini :

B. Hukum mengusap perban

Menurut ijma’ ulama, hukum mengusap perban ketika bersuci adalah wajib bagi orang yang memiliki luka perban bila ia tidak membuka perbannya untuk dibasuh air.

Sedangkan bila berkaitan dengan pilihan, apakah dia membuka atau tidak membuka perbannya : bila ketika memakainya ia dalam kondisi suci dari hadats maka mengusap perban hukumnya mubah, Sedangkan bila belum bersuci, ia harus membuka perban dan membasuhnya selama tidak membahayakan. Bila takut ada kemudharatan maka mengusap perban sudah mencukupi.[5]

C. Syarat mengusap perban yang disepakati

Berikut syarat-syarat mengusap perban yang disepakati ulama bagi orang yang berwudhu atau mandi besar [6] :

 1. Hendaknya perban yang dibasuh adalah perban dari luka yang apabila terkena air maka luka itu membahayakan. Atau dikhawatirkan akan berakibat buruk apabila perban itu dibuka.

2. Perban berasal dari bahan yang suci dan bukan barang yang haram.

3. Hendaknya balutan perban tidak melewati bagian yang perlu.

D. Syarat syarat yang tidak disepakati

Berikut Syarat yang tidak disepakati oleh para ulama dalam masalah ini[7] :

1. Dipakai ketika suci dari hadats.

Kalangan Syafi’iyyah dan hanabilah menetapkan syarat harus suci ketika memakai perban. Jika syarat bersuci tidak bisa bisa dipenuhi, maka wudhu atau mandi janabah digantikan dengan tayamum. 

Sedangkan mazhab Maliki dan Hanafi tidak menetapkan syarat ini.

2. Perban bukan barang rampasan.

Syarat ini ditambahkan oleh kalangan Hanafiyyah, adapun tiga mazhab yang lainnya tidak mensyaratkannya.

E. Tatacara dan kadar yang harus diusap

Berikut tatacara mengusap perban, yang kami ringkaskan dari kitab Fiqh al Islami wa Adillatuhu juz I halaman 432 -433 :

 1. Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah mengatakan bahwa bila yang luka itu nyaris hampir semua badan, maka bukan dengan diusap melainkan dengan tayammum saja.

 2. Bila membasuh anggota tubuh yang sehat masih dimungkinkan dan tidak membahayakan anggota tubuh yang luka, maka caranya dengan berwudhu' atau mandi biasa, lalu tepat pada bagian yang luka dan diperban, cukup diusap saja.

 Sedangkan bila anggota tubuh yang sehat dibasuh namun berpengaruh juga kepada yang luka, saat itu tidak perlu berwudhu' melainkan diganti saja dengan tayammum.

 3. Jumhur Mazhab , yaitu Maliki, Syafi’I dan Hanbali mewajibkan untuk mengusap keseluruhan perban dengan air.
    
4. Jangka mengusap serban tidak dibatasi, artinya boleh dilakukan sampai sembuh.

F. Perkara-perkara yang membatalkan mengusap perban.

Berikut ini adalah hal yang dapat membatalkan mengusap perban[8] :

  1. Apabila perban terbuka baik disengaja ataupun tidak.

 2. Sembuh dari sakit.

 3. Semua yang membatalkan wudhu.

 Demikian penjelasan masalah ini. 

📚Wallahua’lam bis Shawwab.

•┈┈•••○○❁༺αѕт༻❁○○•••┈┈•

[1] Al Qawanin al Fiqhiyyah,39.
[2] Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni dn al Baihaqi dengan sanad yang lemah (Nashbur Rayah, I/186)
[3] Imam Syaukani dalam Nailul Authar (I/285) mengatakan bahwa hadits Jabir ini banyak jalur periwayatannya,dan masing-masing saling menguatkan, sehingga bisa digunakan sebagai dalil. Sedangkan imam Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini adalah yang paling shahih dalam masalah ini. (lihat Subulus Salam, I/99)
[4] Fath al Qadir,I/109.
[5] As Syarh as Shaghir, I/262/265. Syarh al Kabir,I/163. Mughni al Muhtaj, I/94. Al Muhadzab I/37.
[6] Ad Durr al Mukhtar,I/258.
[7] Fiqh al Islami wa Adillatuhu,I/430.
[8] Ibid

Jumat, 13 Juni 2025

SUNNAH BAGI PENDUDUK MAKKAH NGAMBIL MIQOT DITAN'IM DAN JI'RONAH

Orang Yang Berada Di Mekkah Dan Ingin Melaksanakan Umrah Sekali Lagi.

Pertanyaan: 

Dalam waktu dekat, Saya berniat pergi menunaikan umrah bersama saudara-saudaraku. Pesawat take off dari US. Dan kami akan memakai ihram sebelum miqat yang dekat dengan airport Jeddah. Selesai umrah, kalau kami ingin menunaikan umrah untuk orang tua kami yang telah meninggal dunia, yaitu seorang saudara menunaikan umrah untuk ayah, sementara saudara lainnya menunaikan umrah untuk ibu misalnya, dari miqat manakah kami harus pergi untuk memperbarui niat umrah dan ihram untuk kedua orang tua? Apakah kita diharuskan mengganti kain ihram untuk umrah bagi kedua orang tua?

Teks Jawaban
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, wa ba'du:

Pertama,

Mengulang-ulang umrah bagi seorang muslim dalam satu safar, untuk dirinya atau untuk orang lain tidak sesuai dengan sunnah Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabat ridwanahhahu’anhum, dan para ulama salaf shaleh. Karena asalnya adalah untuk setiap umrah dalam satu safar.

Ibnu Qayim rahimahaullah mengatakan dalam ‘Zadul Ma’ad, 2/89, 90: “Tidak pernah dalam umrahnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam satupun umrah yang dilakukan, keluar dari Mekkah. Sebagaimana yang dilakukan kebanyak orang sekarang. Semua umrahnya dilakukan ketika hendak masuk Mekkah. Beliau menetap di Mekkah setelah mendapatkan wahyu selama tigabelas tahun. Tidak dinukil riwayat bahwa beliau melaksanakan umrah keluar dari Mekkah pada waktu itu. Maka umrah yang dilakukan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan disyariatkan adalah umrah yang masuk ke Mekkah. Bukan umrah yang ada di dalam (Mekkah) kemdian keluar ke (tanah) halal dan melakukan umrah. 
Tidak seorangpun pada masa beliau yang melakukannya, kecuali Aisyah radhiallahu anha saja saja diantara rombongan yang ikut bersama beliau. Karena beliau dahulu telah berihram untuk melaksanakan umrah kemudian datang haid, kemudian beliau memerintahkan kepada (Aisyah) untuk memasukkan haji ke umrahnya sehingga menjadi haji qiran. 
Dan beliau memberitahukan bahwa thawafnya di Ka’bah dan antara shafa dan marwah untuk haji dan umrahnya. 
Sehingga di dapati bahwa bahwa para isteri lain telah kembali dengan menunaikan haji dan umrah secara tersendiri –karena mereka menunaikan haji tamattu dan bukana qiran – sementara beliau kembali dengan umrah yang sekaligus haji. 
Sehingga (Nabi sallallahu’alaihi wa sallam) memerintahkan saudaranya untuk (membawa) umrah ke Tan’im, sebagai hibuan hatinya. Sementara beliau tidak umrah dari Tan’im pada haji itu. 
Tidak juga orang yang (berhaji) bersamanya.”

Kedua,

Jumhur ahli ilmu memberi keringanan bagi yang berumrah dalam safarnya untuk melakukan umrah lainnya khusus bagi orang (yang tinggal) sangat jauh. 
Sangat berat kembali untuk melakukan umrah lagi. Maka dia diharuskan keluar ke tanah halal terdekat, kemudian dia berihram dengan umrah lainnya.

Diriwayatkan oleh Bukhari 1215 dan Muslim, 1211 dari Aisyah radhiallahu anha beliau berkata,

" يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْتَمَرْتُمْ وَلَمْ أَعْتَمِرْ ، فَقَالَ : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ ، اذْهَبْ بِأُخْتِكَ فَأَعْمِرْهَا مِنْ التَّنْعِيمِ  ، فَأَحْقَبَهَا عَلَى نَاقَةٍ فَاعْتَمَرَتْ " . (أَحْقَبَهَا) أي أركبها خلفه

“Wahai Rasulullah, anda telah berumrah, sementara saya belum berumrah. Maka (beliau) bersabda, “Wahai Abdurrahman, pergi bersama saudarimu dan temani dia umrahkan dari Tan’im. 
Kemudian ikutilah di belakangnya dengan naik unta, kemudian (Aisyah) menunaikan umrah. 
Kata ‘Ahqabaha adalah mengikutinya dibelakangnya.

Dalam redaksi Buhkari dan Muslim, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada Abdurrahman, “Keluarlah anda dengan saudarimu dari Tanah haram kemudian berihram umrah (darinya)."

Nawawi rahimahullah mengatakan dalam penjelasan Shahih Muslim, 8/210: “Keluarlah anda dengan saudarimu dari tanah haram dan berihram untuk umrah dari sana, adalah dalil apa yang dikatakan oleh para ulama, bahwa orang yang berada di Mekkah dan ingin menunaikan umrah,  maka miqatnya adalah tanah halal terdekat. 
Tidak dibolehkan berihram dari tanah haram. para ulama mengatakan, “Sesungguhnya diharuskan keluar ke tanah halal, agar dapat menggabungkan antara halal dan haram. 
Sebagaimana orang haji menggabungkan keduanya. Dia wukuf di Arafah dan itu tanah halal. 
Kemudian masuk Mekkah untuk thawaf dan (amalan haji) lainnya. 
Ini adalah perincian madzhab Syafi’i dan ini adalah pendapat mayoritas ulama. Bahwa dia harus keluar ke tanah halal terdekat untuk melakukan ihram Umrah. 
Jika dia berihram dari (tempatnya) di tanah haram tanpa keluar, maka dia terkena dam. 
Atha berpendapat, tidak terkena apa-apa. 
Malik mengatakan, tidak diterima sampai dia keluar ke tanah halal. 
Qadhi Iyad mengatakan, “Malik mengatakan, ihramnya diharuskan khusus dari Tan’im. Mereka mengatakan, “Dan tempat itu (Tan’im) adalah miqat bagi orang-orang yang menunaikan umrah dari Mekkah. Pendapat ini syadz (nyeleneh) tertolak. Pendapat mayoritas (ulama) adalah semua arah tanah halal adalah sama (dapat untuk memulai ihram). Tidak dikhususkan di Tan’im.”.

Imam Malik rahimahullah mengatakan dalam Muwatha, 1/282: “Adapun umrah dari Tan’im, maka siapa saja yang ingin keluar dari tanah haram kemudian berihram dari sana, hal itu diterima insyallah. 
Akan tetapi yang lebih utama adalah berihram dari Miqat yang telah ditentukan oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam atau yang lebih jauh dari Tan’im.”

Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm, 2/133, mengatakan,”Miqat umrah bagi orang yang berada di Mekkah adalah tanah halal. 
Yang lebih utama berihram dari Ji’ronah atau tan’im.”

Ibnu Qudamah dalam Al-Mugni, 3/246 mengatakan, “Penduduk Mekkah yang ingin umrah, maka dari tanah halal. 
Kalau mereka ingin haji, maka ihramnya dari Mekkah, bagi penduduk Mekkah dan orang yang tinggal di dalamnya, baik mukim atau tidak mukim, semua sama. 
Karena semua orang yang datang dari miqat, maka miqat itu tempat ihramnya. 
Begitu juga semua orang yang berada di mekkah, maka ia termasuk miqatnya bagi orang yang melakukan haji. 
Kalau dia ingin umrah, maka dari tanah halal. 
Hal ini sepengetahuan kami, tidak ada perbedaan. 
Oleh karena itu, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan Abdurahman menemani umrah Aisyah dari Tan’im.” 

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Kalau ada orang datang ke Mekkah untuk menunaian Haji atau umrah, apakah setelah selesai haji dan umrah dibolehkan menunaikan umrah lagi untuknya atau untuk orang lain pada waktu kedatangan yang sama. 
Dia keluar dari Mekkah menuju Tan’im untuk ihram kemudian menunaikan umrah ini. 
Saya mohon penjelasanya?

Maka beliau menjawab, “Tidak mengapa hal itu. Alhamdulillah. Kalau dia datang untuk haji dan menunaikan haji untuk dirinya atau berumrah untuk dirinya. Atau berhaji dan berumrah untuk orang lain. 
Kemudian dia ingin menunaikan umrah lagi untuk dirinya atau untuk orang lain. 
Maka hal itu tidak mengapa. Akan tetapi dimulai dari tanah halal. 
Keluar dari Mekkah ke tanah halal; Tan’im atau Ji’ronah atau selain dari keduanya dan berihram darinya. 
Kemudian memulai thawaf, sa’i dan mencukur. 
Baik hal itu untuk dirinya atau untuk mayit dari kerebatanya atau orang yang dicintainya atau untuk orang yang tidak mampu, tua renta, tua sekali yang tidak mampu menunaikan umrah, hal itu tidak mengapa. Hal ini telah dilakukan oleh Aisyah radhiallahu’anha atas perintah dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Beliau umrah bersama Nabi sallallahu’alaihi wa sallam kemudian meminta izin waktu malam hisbah yaitu sore hari ketiga belas malam empat belas. 
Beliau meminta izin untuk menunaikan umrah, kemudian beliau diberi izin oleh Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. 
Dan memerintahkan Abdurrahnman bin Abu Bakar saudaranya untuk pergi bersamanya ke Tan’im dan beliau (Aisyah radhiallahu’anha) berumrah dari sana. Dan ini berarati umrah kedua dari dalam Mekkah.

Kesimpulannya, bahwa tidak mengapa seseorang yang menunaikan haji atau umrah untuk dirinya kemudian dia berumrah untuk orang lain. 
Atau dia haji dan umrah untuk orang lain kemudian berumrah untuk dirinya. Hal itu tidak mengapa.” (Nurun Ala Ad-Darbi)

Dari situ, yang dianjurkan bagi anda kalau anda datang dari USA dan berumrah untuk diri anda kemudian ingin mengumrahkan untuk orang tua anda yang telah meninggal dunia. 
Hendaknya anda keluar ke tanah halal terdekat yaitu Tan’im. 
Dan berihram darinya kemudian kembali ke Mekkah untuk menunaikan umrah untuk orang yang meninggal dunia. 
Dan anda tidak diharuskan mengganti kain ihram yang anda gunakan untuk berihram. Bahkan dibolehkan memakai pakaian apa saja selagi semua syarat telah terpenuhi. 
Akan tetapi dianjurkan memakai pakaian putih yang bersih.

Wallahu’alam.


BOLEHKAH MENGGABUNGKAN THOWAF WADA' DAN IFADHOH.

Bolehkah Mengabungkan Thawaf Wada' dengan Ifadhah?

Semakin membludak jamaah haji dari seluruh penjuru dunia desak-desakan ekstrim tidak lagi dapat dihindari, utamanya saat thawaf. 
Ibadah haji adalah ibadah badaniyah yang membutuhkan kondisi tubuh dalam keadaan fit. 
Kenyataannya ada beberapa kondisi seseorang merasa berat atau bahkan tidak mampu melaksanakan thawaf, padahal dalam ibadah haji setidaknya ada tiga kali thawaf yakni, thawaf qudum, ifadhah dan wada'. 

Karenanya bolehkan orang menggabungkan thawaf ifadhah dan thawaf wada' menjadi satu kali thawaf dengan dua niat dengan tujuan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat kondisi tubuh yang sedang tidak fit?  
 
Sebelumnya perlu diketahui bahwa hukum thawaf wada' diperselisihkan oleh ulama se​​​​​​bagai berikut: 

Pertama, menurut mazhab Syafi'i thawaf wada' hukumnya wajib menurut pendapat ashah dan sunah menurut pendapat lain. 
Terkait pendapat madzhab Syafi'i dapat dilihat misalnya dalam kitab Al-Majmu' :
 
وَطَوَافُ الْوَدَاعِ فِيهِ قَوْلَانِ (أَصَحُّهُمَا) أَنَّهُ وَاجِبٌ (وَالثَّانِي) سُنَّةٌ فَإِنْ تَرَكَهُ أَرَاقَ دَمًا (إنْ قُلْنَا) هُوَ وَاجِبٌ فَالدَّمُ وَاجِبٌ وَإِنْ قُلْنَا سُنَّةٌ فَالدَّمُ سُنَّةٌ

Artinya, “Hukum thawaf wada’ dalam ibadah haji ada dua pendapat, pertama—dan ini yang paling sahih—adalah wajib; dan​​​​​​ kedua sunah. 
Karenanya jika ditinggalkan maka harus menyembelih dam. Jika dikatakan wajib maka menyembelih damnya juga wajib. 
Tapi jika dikatakan sunah maka menyembelihnya juga sunah.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jeddah: Maktabah Al-Irsyad], juz VIII, halaman 15).

Kedua, menurut pendapat mazhab Maliki thawaf wada' hukumnya sunah dan dapat digabung dengan thawaf ifadhah dengan satu kali thawaf, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Malik (wafat 179 H) dalam kitabnya Al-Mudawwanatul Kubra: 

بلغني أن بعض أصحاب النبي عليه السلام كانوا يأتون مراهقين -أي ضاق بهم وقت الوقوف بعرفة عن إدراك الطواف قبله- فينفذون لحجهم ولا يطوفون ولا يسعون، ثم يقدمون منًى ولا يفيضون من منًى إلى آخر أيام التشريق، فيأتون فينيخون بإبلهم عند باب المسجد ويدخلون فيطوفون بالبيت ويسعون ثم ينصرفون، فيجزئهم طوافهم ذلك لدخولهم مكة ولإفاضتهم ولوداعهم البيت

Artinya, "Telah sampai kepadaku bahwa sebagian sahabat Nabi datang pada saat waktu terbatas untuk wukuf di Arafah jika mereka melakukan thawaf sebelumnya. Kemudian mereka melanjutkan ibadah hajinya dengan tidak thawaf dan sa'i. Selanjutnya mereka datang di Mina dan tidak memanjangkan waktu dari Mina sampai hari-hari Tasyrik. Lalu mereka datang kemudian menderumkan unta-untanya di samping pintu masjid, lalu mereka masuk untuk thawaf dan sa'i, lalu pergi. Telah mencukupi mereka thawaf tersebut untuk thawaf masuk Makkah (thawaf qudum), thawaf ifadhah dan thawaf wada'." (Malik bin Anas bin Malik, Al-Mudawanatul Kubra, [Bairut, Darul Kutub Ilmiyah: 1994 H], juz I halaman 425).

Abu Barakat Ad-Dardiri (wafat 1230 H) yang bermazhab Maliki dalam kitabnya As-Syarhul Kabir mengatakan:

وتَأَدَّى الوداعُ (بالإفاضة و) بطواف (العمرة) أي سقط طلبه بهما ويحصل له ثواب طواف الوداع إن نواه بهما.
 
Artinya, "Telah memenuhi thawaf wada' dengan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah. Maksudnya telah gugur tuntutan thawaf wada' dengan melakukan thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah, dan telah hasil baginya pahala thawaf wada' jika ia meniatkannya dalam thawaf ifadhah dan thawaf ’umrah." (Abu Barakat Ad-Dardiri, As-Syarhul Kabir, [Bairut, Dar-Fikr: tt], juz II, halaman 53). 

Kemudian, Al-Imam Ibnu Qudamah (wafat 620 H) yang bermazhab Hambali menjelaskan dalam kitabnya: 

فصل: فإن أخر طواف الزيارة فطافه عند الخروج، فيه روايتان؛ إحداهما: يجزئه عن طواف الوداع؛ لأنه أُمِرَ أن يكون آخر عهدِه بالبيت, وقد فعل، ولأن ما شُرِعَ لتحية المسجد أجزأ عنه الواجب من جنسه, كتحية المسجد بركعتين تجزئ عنهما المكتوبة

Artinya, " Pasal: Apabila orang mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu imelakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), dalam permasalahan ini terdapat dua riwayat. 
Pertama, thawah ifadhah mencukupi dari thawaf wada', karena yang diperintahkan adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah dan ini telah terlaksana. Perkara yang disyariatkan untuk dikerjakan yaitu shalat tahiyatul masjid telah tercukupi dengan shalat wajib yang sejenis, seperti shalat dua rakaat tahiyatul masjid keduanya tercukupi dengan shalat wajib." (Abu Muhammad Muawiquddin Ibn Qudamah, Al-Mughni libni Qudamah, [Mesir, Maktabah Al-Qahirah], juz III, halaman 404). 

Ulama lain dari mazhab hambali, Al-’Alamah Al-Mardawi (wafat 885 H) dalam kitabnya, Al-Inshaf berkata: 
 
 ومَن أخَّر طواف الزيارة فطافه عند الخروج؛ أجزأ عن طواف الوداع.
 
Artinya, "Barangsiapa mengakhirkan thawaf ziyarah (ifadhah) lalu ia melakukan thawaf ketika akan keluar (meninggalkan kota Makkah), maka cukup baginya melakukan thawaf wada'." ('Ala'uddin Al-Mardawi, Al-Inshaf, [ Mesir, Darul Ihya' at-Turats], juz IV, halaman 50).
 
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa thawaf wada' hukumnya wajib menurut mazhab Syafi'i, sedangkan menurut mazhab Maliki, satu pendapat dalam mazhab Imam As-Syafi'i dan Mazhab Imam Ahmad, thawaf wada' hukumnya sunah.

Kemudian Madzhab Maliki dan Hanbali memperbolehkan mengumpulkan antara thawaf ifadhah dan wada' dalam satu kali thawaf. 
Hal ini berdasar pada tujuannya adalah menjadikan akhir amalan hajinya adalah thawaf di Baitullah, dan hal ini telah terlaksana dengan thawaf ifadhah.
 
Walhasil, mengingat dalam kondisi tertentu, pelaksanaan thawaf dua kali, yaitu thawaf ifadhah dan wada' secara terpisah akan sangat memberatkan (masyaqqah) terutama bagi jamaah haji dengan risiko tinggi, sakit dan lemah secara fisik, untuk meminimalisir risiko, maka dimungkinkan untuknya memilih teknis yang lebih mudah yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu waktu dengan dua niat, dan telah ia dapatkan pahala keduanya sekalipun hanya dengan satu kali thawaf. 
Wallahu a'lam bisshawab.

Minggu, 08 Juni 2025

BENARKAH TIDAK DIANJURKAN SHALAT ROWATIB KETIKA SAFAR,,,?

Benarkah Tidak Dianjurkan Shalat Sunnah Rawatib Ketika dalam Perjalanan?

shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan
Dalam sebuah pengajian, ada seorang ustadz yang menjelaskan bahwa ketika kita dalam perjalanan, kita tidak dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah shalat wajib. Hal ini karena dalam perjalanan, kita dianjurkan untuk meringankan shalat dengan jamak dan qashar, termasuk juga dengan tidak melakukan shalat sunnah rawatib. Benarkah tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah rawatib ketika dalam perjalanan? (Baca: Doa Nabi Setelah Shalat Sunah Rawatib)

Dalam masalah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut ulama Syafiiyah dan kebanyakan ulama yang lain, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya tetap dianjurkan untuk kita kerjakan selama dalam perjalana. Meskipun kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, namun hal itu tidak menggugurkan anjuran melakukan shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah yang lain.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

قال أصحابنا يستحب صلاة النوافل في السفر سواء الرواتب مع الفرائض وغيرها

Ulama kami berkata, ‘Dianjurkan melaksanakan shalat-shalat sunnah ketika dalam perjalanan, baik shalat sunnah rawatib maupun shalat sunnah lainnya.

Di antara dalil yang dijadikan dasar adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

كان يصلي النوافل على راحلته في السفر حيث توجهت به

Nabi Saw melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dalam perjalanan dengan menghadap sesuai kendaraannya melaju.

Juga berdasarkan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, dia berkata;

صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم الظهر في السفر ركعتين وبعدها ركعتين

Saya bersama Nabi Saw melaksanakan shalat Dzuhur dua rakaat, kemudian setelahnya melakukan shalat dua rakaat.

Adapun menurut sebagian ulama, tidak dianjurkan melakukan shalat sunnah dalam perjalan, baik shalat sunnah rawatib dan lainnya. Ini sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmu berikut;

وقالت طائفة لا يصلي الرواتب في السفر

Sebagian kelompok ulama berkata, ‘Tidak dianjurkan melakukan shalat rawatib dalam perjalanan.’

Dari dua pendapat di atas, yang banyak diikuti oleh para ulama adalah pendapat pertama. Oleh karena itu, meskipun dalam perjalanan kita melaksanakan shalat wajib dengan cara jamak dan qashar, kita tetap dianjurkan untuk melakukan shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudah shalat wajib.

Lalu bagaimana cara shalat rawatib bagi orang yang menjamak ketika mukim?

Kita simak beberapa keterangan ulama yang menjelaskan urutan dan tata caranya, sebagai berikut,

[Pertama] Keterangan An-Nawawi

Dalam kitabnya – Raudhah at-Thalibin  – beliau menjelaskan teknis jamak dan shalat rawatib bagi orang yang mukim,

في جمع العشاء والمغرب يصلي الفريضتين ثم سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر .وأما في الظهر : فالصواب الذي قاله المحققون أنه يصلي سنة الظهر التي قبلها ثم يصلي الظهر ثم العصر ثم سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر

Untuk jamak isya dan maghrib, yang dilakukan adalah mengerjakan kedua shalat wajib (maghrib dan isya) terlebih dahulu, kemudian sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. Sementara untuk jamak shalat dzuhur, yang benar adalah keterangan para ulama peneliti (ahlu Tahqiq), yaitu dengan cara melaksanakan shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur, kemudian shalat asar, kemudian shalat bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar. (Raudhah at-Thalibin, 1/402).

[kedua] Keterangan Imam Zakariya al-Anshari – ulama Syafiiyah –,

وإن جمع تقديما بل أو تأخيرا في الظهر والعصر صلى سنة الظهر التي قبلها ثم الفريضتين الظهر ثم العصر ثم باقي السنن مرتبة أي سنة الظهر التي بعدها ثم سنة العصر وفي المغرب والعشاء يصلي الفريضتين ثم السنن مرتبة سنة المغرب ثم سنة العشاء ثم الوتر

Jika ada orang yang melakukan jamak taqdim atau ta’khir untuk shalat dzuhur dan asar, maka yang dia lakukan adalah shalat sunah qabliyah dzuhur, kemudian shalat dzuhur dan asar, kemudian shalat sunah rawatib lainnya secara berurutan, yaitu shalat sunah bakdiyah dzuhur, kemudian sunah qabliyah asar.

Untuk maghrib dan isya, dia kerjakan shalat maghrib dan isya, kemudian shalat sunah setelahnya secara berurutan, shalat sunah bakdiyah maghrib, kemudian sunah bakdiyah isya, kemudian witir. (Asna al-Mathalib, 1/245)

[Ketiga] Keterangan Ibnu Qudamah

وإذا جمع في وقت الأولى فله أن يصلي سنة الثانية منهما ويوتر قبل دخول وقت الثانية لأن سنتها تابعة لها فيتبعها في فعلها ووقتها والوتر وقته ما بين صلاة العشاء إلى صلاة الصبح وقد صلى العشاء فدخل وقته

Jika ada orang telah melakukan jamak taqdim (maghrib dan isya), selanjutnya dia bisa melakukan shalat sunah rawatib keduanya (bakdiyah maghrib dan isya), kemudian melakukan shalat witir (meskipun) belum masuk waktu shalat isya. Karena shalat sunah witir mengikuti shalat isya. 
Sehingga waktu dan pelaksanaannya mengikuti pelaksanaan shalat isya. Sementara witir waktunya antara shalat isya sampai subuh. 
Dan dia melaksanakan shalat isya, sehingga telah masuk waktunya. (al-Mughni, 2/124).

[Keempat] keterangan al-Mardawi dalam al-Inshaf,

يصلي سنة الظهر بعد صلاة العصر من غير كراهة قاله أكثر الأصحاب

Orang yang melakukan jamak dzuhur dengan asar maka dia mengerjakan shalat sunah bakdiyah dzuhur setelah shalat asar, dan tidak makruh. 
Ini merupakan pendapat mayoritas hambali. (al-Inshaf, 2/241)."
ALLAHU A'LAM..

Kamis, 05 Juni 2025

KHUTBAH WUKUF AROFAH

"Khutbah Wukuf"

Hikmah Ibadah Haji untuk Pribadi yang Dicintai Ilahi". Untuk mencetak naskah khutbah ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Atau bisa mengunduhnya melalui tautan di bawah artikel ini. Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I.

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ


اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ. فَيَاضُيُوْفَ الرَّحْمَن أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوْ الله, وَاعْمَلُوا الصَّالِحَات وَاجْتَنِبُوا الْمُنْكَرَات وَاذْكُرُوا اللهَ فِي اَيَّامٍ مَعْلُوْمَت وَاشْكُرُوْا وَاَكثِرُوا التَّلْبِيَّة : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah swt


Tiada kata yang paling layak kita ungkapkan saat ini untuk mensyukuri nikmat tak terhingga yang telah dikaruniakan Allah kepada kita semua, selain kalimat Alhamdulillah... wal hamdulillah... tsummal hamdulillahi rabbil alamin. Segala puji bagi Allah yang telah menakdirkan dan memilih kita dari miliaran manusia di muka bumi ini untuk bisa hadir di padang Arafah, untuk melaksanakan misi ibadah suci, ibadah haji. Banyak orang yang memimpikan ingin seperti kita saat ini. Banyak umat Islam yang tengah berjuang untuk menunggu dipanggil bisa menjalankan rukun Islam yang ke lima ini. Namun takdirnya, kita yang saat ini diberi nikmat yang tak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata, bisa beribadah, bersimpuh, dan berdoa di tempat yang mustajabah ini. 


Kenikmatan kita saat ini, menjadi bagian dari nikmat-nikmat Allah lainnya yang tidak bisa kita hitung satu persatu. Allah berfirman:


وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


Artinya: “Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl: 18).

Baca Juga

Khutbah Arafah: Haji Akbar dan Moderasi Beragama dari Tanah yang Mulia

Selain bersyukur atas nikmat nyata ini, kita juga harus menyampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. Yang jangankan kita manusia biasa. Allah dan para Malaikat-Nya pun bershalawat kepada beliau. 


اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَـيِّـدِنَـا مُحَمَّدٍ


Shalawat ini juga merupakan ungkapan terima kasih kepada beliau yang telah membawa risalah suci agama Islam. Dengan jasa agung beliau, kita bisa menikmati manisnya Islam dan kita termasuk orang-orang yang sangat beruntung memilih agama Islam sebagai petunjuk dalam mengarungi kehidupan ini. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 85:


وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ


Artinya: “Siapa yang mencari agama selain Islam, sekali-kali (agamanya) tidak akan diterima darinya dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 96 dan 97:


اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ


Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.”


فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
 

Artinya: “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Rangkaian dua ayat inilah yang menjadi dasar disyariatkannya ibadah haji untuk umat Islam. Ayat ini memiliki makna historis untuk mengingatkan kita bahwa di Tanah Suci yang diberkahi inilah pertama kali dibangun baitullah. Dari tanah suci yang saat ini kita bisa merasakan auranya secara langsung ini pulalah Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad untuk menjadi Rahmatan lil Alamin (rahmat dan petunjuk bagi seluruh alam). Dan hanya di Tanah Suci ini pulalah kewajiban haji bisa dilaksanakan untuk menjadikan kita Muslim yang paripurna, Muslim yang sempurna, Muslim yang mabrur yang akan mendapatkan balasan surga dari Allah swt. Rasulullah bersabda:


اَلْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ له جَزَاءٌ الا الْجَنَّـةَ


Artinya: "Haji Mabrur tidak ada imbalan lain baginya kecuali surga". (HR Imam Ahmad)


Dalam melaksanakan ibadah haji kita mengawali dengan mengenakan pakaian ihram berwarna sama yakni putih yang melambangkan kesucian. Tidak mengenal dari mana kita berasal, setinggi apa pun jabatan kita, sebanyak apa pun harta kita, apa pun warna kulit kita, semuanya mengenakan pakaian ihram putih melambangkan kembalinya manusia kepada Allah, pemilik alam semesta. Semua identitas, semua jabatan, dan kekayaan ditanggalkan seraya menyadari bahwa kita semua adalah sama di hadapan Allah swt. Menyadari bahwa tidak ada yang perlu disombongkan selama hidup di dunia. Semua akan kembali kepada-Nya dengan kain putih yang membungkus kita. Hanya amal ibadah yang akan dibawa menghadap yang Kuasa, Allah swt.


Selanjutnya kita melaksanakan wukuf di padang Arafah sebagai puncak dari ibadah haji. Rasulullah bersabda:


الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ


Artinya: "Haji itu Arafah. Siapa saja yang mendapati malam Arafah sebelum terbit fajar malam Muzdalifah (malam Idul Adha), maka sempurnalah hajinya,'" (HR Ahmad) 


Wukuf, yang memiliki makna berhenti, merupakan lambang bahwa pada satu titik kehidupan, kita harus berhenti untuk melakukan muhasabah, perenungan, evaluasi, mendekatkan diri dan melambungkan jiwa serta nilai-nilai spiritual kita kepada Allah swt. Wukuf menjadi momentum bagi kita untuk menyadarkan diri bahwa kita adalah makhluk yang sangat lemah di hadapan Allah swt. Kita akan mempertanggungjawabkan segala yang telah lakukan selama di dunia ini, nanti di yaumul mahsyar. Sebuah masa di mana manusia dari Nabi Adam sampai dengan kiamat nanti dikumpulkan dan akan dihisab amal perbuatannya.


Wukuf di Arafah, di mana seluruh jamaah haji berkumpul di satu tempat dalam satu waktu, merupakan miniatur saat kita di Padang Mahsyar nanti. Tidak ada lagi waktu untuk memperbaiki diri dan tidak ada lagi kebohongan bisa dilakukan saat kita mempertanggungkan apa yang kita lakukan selama di dunia.


اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ


Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Selain melakukan kontemplasi (perenungan diri), dalam ibadah haji kita juga diajarkan untuk senantiasa optimis dalam menjalani kehidupan ini. Hal ini tercermin dari proses thawaf dan sa'i yang terus bergerak menuju titik tujuan sebagaimana hidup untuk menggapai harapan dan cita-cita. Semangat thawaf dan sa'i harus mampu kita wujudkan dalam setiap lini kehidupan kita sehari-hari. Semangat untuk terus menjadi hamba yang baik dalam menjalankan misi utama di dunia yakni menjadi khalifah dan menyembah Allah swt.


Selain itu, berkumpulnya jutaan jamaah dari berbagai negara dalam satu tempat ini memberi hikmah yang mendalam bagi kita. Perbedaan-perbedaan yang ada, mulai dari ras, bangsa, tradisi, dan bahasa serta perbedaan lainnya bukanlah untuk dipertentangkan. Namun semua ini bisa menyatu dalam rangka saling memahami satu sama lain. Allah swt bersabda:


يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ


Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).


Selain lebih arif dalam menyikapi perbedaan, dalam ayat ini Allah swt juga mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjadi orang yang bertakwa. Allah menegaskan bahwa ketakwaan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan standar yang ditetapkan oleh Allah, apakah seseorang masuk ke dalam golongan orang-orang yang mulia atau tidak. 


Dengan ketakwaan, kehidupan kita akan benar-benar terarah dan sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Islam. Karena takwa sendiri adalah sebuah sikap mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang yang bertakwa merupakan orang yang paling mulia si sisi Allah.


Dalam haji, takwa juga merupakan bekal yang paling baik yang harus dibawa. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 197:


اَلْحَجُّ اَشْهُرٌ مَّعْلُوْمٰتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيْهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوْقَ وَلَا جِدَالَ فِى الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ يَّعْلَمْهُ اللّٰهُ ۗ وَتَزَوَّدُوْا فَاِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوْنِ يٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ


Artinya: “(Musim) haji itu (pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala yang baik yang kamu kerjakan, Allah mengetahuinya. Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!”


Hadirin dhuyûfurrahmân yang dimuliakan Allah,


Untuk mewujudkan hikmah dari rangkaian ibadah haji yang sudah dijelaskan ini, mari kita berdoa, memohon kepada Allah swt di tempat dan waktu yang mustajabah ini, semoga kita menjadi hamba yang dicintai dan disayangi Allah swt. Semoga kita diberikan kekuatan dan kesehatan serta kelancaran dalam menjalankan prosesi ibadah haji ini sampai dengan selesai. Semoga kita diberikan kekuatan untuk menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah haji setelah kita menyelesaikan seluruh rangkaiannya. 


Dan yang paling utama, mari kita semuanya berusaha dan berdoa, mudah-mudahan haji yang kita lakukan  pada kali ini dicatat sebagai haji yang mabrur dan mabrurah. Amin, amin, ya Rabbal alamin. 


بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْأَنِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ، وَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ


Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا


اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ


اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. اَللّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا كَامِلاً وَيَقِيْنًا صَادِقًا وَرِزْقًا وَاسِعًا وَقَلْبًا خَاشِعًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَحَلاَلاً طَيِّبًا وَ توبة نَصُوْحًا. اَللّهُمَّ اجْعَلْ حَجَّنَا حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا وَعَمَلاً صَالِحًا مَقْبُوْلاً وَتِجَارَةً لَنْ تَبُوْرَ يَا عَالِمَ مَا في الصُّدُوْرِ أَخْرِجْنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ


عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ